Antropologi Hukum Sebagai Cabang Ilmu Antropologi
Salah satu cabang spesialisasi ilmu antropologi adalah antropologi hukum. Dalam membandingkan kebudayaan-kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang menarik perhatian untuk difahami secara mendalam dalam konteks yang universal adalah norma-norma yang selalu terumus dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia sebagai pedoman, yang diajarkan kepada para warganya supaya diperhatikan dalam berperilaku. Sehubungan dengan perhatian tersebut berkembanglah bidang perhatian baru yang menghasilkan berbagai karya tulis dengan keterangan-keterangan tentang berfungsinya hukum dalam berbagai kebudayaan, dalam kebudayaan yang masih bersahaja dan juga dalam kebudayaan yang sudah bersifat kompleks. Berbagai kerangka teori juga dirumuskan dengan menunjukkan kepekaan terhadap tinjauan lintas budaya yang berarti bahwa kesimpulan-kesimpulan mengenai hukum dan definisi hukum benar-benar diuji, apakah dapat berlaku untuk aneka kebudayaan manusia. Misalnya dapat diuji suatu pendapat, bahwa hukum adalah aturan-aturan yang dirumuskan secara sengaja oleh badan yang ditunjuk khusus untuk itu dan dimaksudkan untuk menjadi pedoman yang berlaku bagi warga masyarakat dan kalau dilanggar ada sanksinya yang nyata-nyata dilaksanakan oleh petugas-petugas yang telah ditunjuk. Kalau dikemukakan pendapat seperti itu maka banyak di antara masyarakat yang masih sederhana organisasi politiknya (artinya, tidak mempunyai badan pembuat peraturan, tidak mempunyai petugas yang melaksanakan hukuman) tidak mempunyai hukum. Apabila masyarakat demikian dianggap tidak mempunyai hukum sedangkan di situ tercapai suatu keadaan damai dan teratur di mana sengketa-sengketa dapat diselesaikan sedemikian rupa sehingga sesudahnya masyarakat menjadi seimbang lagi, apakah di sini tidak beroperasi sesuatu yang efeknya sama dengan efek bekerjanya hukum di masyarakat yang sudah rumit organisasinya?
Sehubungan dengan hal itu salah satu pokok yang memperoleh sorotan dalam antropologi hukum adalah, bagaimana mendefenisikan hukum supaya gejala-gejala yang beraneka ragam dan fungsi intinya sama dengan apa yang secara hakiki merupakan fungsi hukum, dan terdapat dalam aneka budaya manusia, dapat tertampung. Dalam Anthropology of Law (Leopold Pospisil), kita dapat membaca uraian yang membahas keperluan mengenai perumusan hukum yang berlaku secara lintas budaya. Pospisil telah mengulas beberapa defenisi hukum yang sangat terpaut pada struktur masyarakat tertentu yaitu, yang hukumnya dipolakan pada sistem Barat dan kalau definisi ini dipakai sebagai titik tolak (oleh Pospisil definisi itu dicap sebagai bersifat etnosentris, artinya berpusat pada budaya penulisnya), maka berbagai masyarakat tidak dapat dianggap sebagai masyarakat yang mengenai hukum, seperti misalnya masyarakat orang Kapauku, suatu suku bangsa di Irian Jaya yang telah dipelajarinya secara mendalam. Menurut pengamatan Pospisil, hukum beroperasi di masyarakat tersebut dan berdasar pengamatannya terhadap gejala-gejala pengendalian sosial di antara orang Kapauku, di antara orang Tirol di Austria (peradaban yang sudah tua), di antara suku Nunamiut Eskimo serta di antara sejumlah kebudayaan lain yang dipelajarinya, Pospisil baru berani menawarkan suatu perumusan mengenai hukum yang berlaku secara lintas budaya atau di berbagai kebudayaan. Keberlakuan itu telah diujinya sendiri.
Manfaat Praktis dari Antropologi Hukum
Para praktisi hukum seringkali ragu-ragu mengenai apakah ada manfaat yang dapat mereka ambil dari antropologi hukum. Dilihat dari pekerjaan mereka yang langsung berkaitan dengan penerapan hukum, hal-hal yang dikemukakan dalam antropologi hukum terlalu mengambang sifatnya. Mereka memang bisa mengakui bahwa telaah antropologi hukum akan memperdalam pemahaman mereka mengenai proses pengendalian sosial, mengenai latar belakang budaya dari hukum, tetapi hasil yang demikian tidak dapat langsung digunakan. Dalam karangan Bohannan berjudul "Anthropology and Law" yang terjemahannya dimuat dalam kumpulan karangan ini, disebutkan bahwa para penekun dari hukum dapat dibedakan dalam dua golongan besar yaitu yang mempunyai perhatian terhadap hukum dalam kaitannya dengan perilaku manusia dan yang menaruh minat terhadap hukum dari segi intelektual dan filosofis. Antropologi hukum termasuk golongan kedua jadi memanglah bukan diarahkan pada pengetahuan mengenai hukum yang langsung dapat diterapkan kepada urusan praktis. Dengan begitu manfaat penekunan hukum dari segi antropologis adalah gambaran yang lebih mendalam mengenai bekerjanya hukum sebagai pengendali sosial dan bagaimana hal itu berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Suatu wawasan yang lebih meluas mengenai hukum dengan demikian diperkirakan akan berkembang pada penekun disiplin ini, apalagi karena pendekatannya yang bersifat komparatif. Seorang hakim, seorang advokat, seorang anggota dari Angkatan Kepolisian melalui penekunan antropologi hukum dan berkesempatan mengembangkan wawasan yang lebih luas mengenai bekerjanya hukum itu dan akan memperoleh pemahaman mengenai dimensi-dimensi budaya dari hukum itu. Mungkin polisi baru dianggap bertugas bila hukum telah dilanggar, atau dalam perkataan Bohannan (karangan : Antropologi Hukum) bila suatu situasi hukum telah tercipta yang dimulai dengan suatu pelanggaran terhadap hukum, namun besar manfaatnya bila seorang anggota polisi mengarahkan perhatian kepada hal-hal yang akan mengurangi situasi-situasi pelanggaran atau lebih memaksimalkan usaha preventif. Tugas preventif itu akan lebih baik : ditangani bila dia mengerti bagaimana latar belakang budaya dari suatu masyarakat setempat, kira-kira bagaimana pedoman-pedoman yang berlaku di antara mereka, bagaimana hukum adat yang ; berlaku, bagaimana peranan pemimpin-pemimpin informal dalam proses pengendalian sosial.
Melihat pokok-pokok yang ditekuni oleh antropologi hukum, maka pengertian mengenai informasi-informasi tersebut, kepekaan terhadap informasi-informasi mengenai hal-hal yang demikian, akan dikembangkan melalui disiplin ini. Pemahaman mengenai hal-hal tersebut, juga akan besar manfaatnya bagi praktisi lain seperti hakim. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (Undang-Undang tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Keha-kiman) terdapat ketentuan dalam Pasal 27 (1) yaitu : "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Sehubungan dengan itu penjelasan pasal bersangkutan memuat hal berikut : "Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu mengalami perasaan hukum, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberi keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Di sini jelas ditampilkan suatu syarat yang perlu dipenuhi oleh seseorang yang berfungsi sebagai penerap hukum yaitu perlunya dia memiliki wawasan yang tidak legalistik atau yuridis saja mengenai hukum itu, tetapi perlu mengerti segi-segi budaya, segi sosiologis, dan sehubungan dengan itu maka pokok-pokok yang ditelaah oleh antropologi hukum dapat dimanfaatkannya.
Satu hal yang dapat kita ambil dari antropologi hukum, adalah diharapkan dapat memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena beragamnya budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi patut dianggap sebagai khazanah kekayaan hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum nasional. Di sisi lain akibatnya adalah memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia yang beragam pola fikir, karakter, pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum.